Minggu, 24 April 2011

KEDUDUKAN HUKUM TANAH ADAT DALAM SISTEM HUKUM AGRARIA NASIONAL

MAKALAH HUKUM ADAT DALAM PERKEMBANGAN

KEDUDUKAN HUKUM TANAH ADAT
DALAM SISTEM HUKUM AGRARIA NASIONAL
(diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat dalam Perkembangan)



PUTRI HIJRIYANTI (1111090270)
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
KELAS III A

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
FAKULTAS HUKUM



Jl. Raya Jakarta Km.4 Phone ( 0254 ) 280330 Ext. 218 – Fax. ( 0254 ) 280090 Pakupatan Serang

2010

KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala hikmat dan rahmat yang telah dilimpahkan-Nyalah akhirnya makalah Kedudukan Hukum Tanah Adat dalam Sistem Hukum Agraria Nasional ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
            Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat dalam Perkembangan di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten. Selain itu penulis mengharapkan agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
            Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mengalami kesulitan. Namun, berkat bimbingan dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat diselesaikan walaupun masih banyak kekurangannya. Karena itu, sepantasnya jika penulis mengucapkan terima kasih kepada:
  1. Bapak Aris Suhadi, S.H, M.H selaku dosen mata kuliah Hukum Adat dalam Perkembangan kelas A semester 3 fakultas hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten;
  2. Bapak H. Ahmad Surkati, SH.MH selaku dosen pembimbing akademik;
  3. Ayah dan ibu tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan, baik secara moral maupun spiritual;
  4. Seluruh teman-teman kelas 3A fakultas hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten;
  5. Dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna dimasa yang akan datang.
Harapan penulis, mudah-mudahan makalah yang sederhana benar-benar membuktikan bahwa mahasiswa dapat lebih berperan serta dalam pembangunan masyarakat pada kenyataan sehari-hari dan bermanfaat bagi pembaca umumnya serta rekan mahasiswa khususnya. Amin.
                                                                                          Cilegon, Desember 2010
                                                                                                  PENULIS
DAFTAR ISI

                                                                                                                                                                                                Hal.
KATA PENGANTAR.....................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah................................................................................... 1
1.2  Identifikasi Masalah......................................................................................... 2
1.3  Tujuan Pembuatan Makalah
       1.3.1 Tujuan umum.......................................................................................... 3
       1.3.2  Tujuan khusus......................................................................................... 3
1.4   Metode Penyusunan Makalah........................................................................... 3
1.5   Manfaat Pembuatan Makalah........................................................................... 3
BAB II TINJAUAN UMUM
2.1   Hukum Adat tanah............................................................................................ 4
2.2   Hukum Agraria Sebelum Adanya UUPA......................................................... 7
2.3   Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)........................................................ 9
BAB III PEMBAHASAN
3.1   Pengaturan Hukum Tanah Adat Sebelum Berlakunya UUPA....................... 11
3.2   Hukum Tanah Adat Setelah Berlakunya UUPA............................................ 11
3.3 Kedudukan Hukum Tanah Adat dalam Hukum Agraria Nasional................. 13
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan............. ....................................................................................... 16
4.2 Saran dan Rekomendasi ................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 18


BAB  I
PENDAHULUAN

1.1                  Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan terlepas dari segala tindak tanduk manusia itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan kelanjutan kehidupannya. Oleh itu tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat, sehingga sering terjadi sengketa diantara sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaedah-kaedah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah.
Di dalam Hukum Adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan, tanah dimana meresap daya-daya hidup, termasuk juga hidupnya umat dan karenanya tergantung dari padanya.
Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu. Kita juga bahwa telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. 
Dalam hukum tanah adat ini terdapat kaedah-kaedah hukum. Keseluruhan kaedah hukum yang timbuh dan berkembang didalam pergaulan hidup antar sesama manusia adalah sangat berhubungan erat tentang pemamfaatan antar sesame manusia adalah sangat berhubungan erat tentang pemamfaatan sekaligus menghindarkan perselisihan dan pemamfaatan tanah sebaik-baiknya. Hal inilah yang diatur di dalam hukum tanah adat. Dari ketentuan-ketentuan hukum tanah ini akan timbul hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan hak-hak yang ada di atas tanah.     
Hukum tanah di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal bersifat dualisme, yang dapat diartikan bahwa status hukum atas tanah ada yang dikuasai oleh hukum Eropa di satu pihak, dan yang dikuasai oleh hukum adat, di pihak lain.[1] diseluruh Indonesia kita melihat adanya hubungan-hubungan antara persekutuan hukum dengan tanah dalam wilayahnya, atau dengan kata lain, persekutuan hukum itu mempunyai hak atas tanah-tanah itu, yang dinamakan Beschikkingsrecht.
Dari sini dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara hokum tanah adapt dengan hukum tanah nasional.
           
1.2     Identifikasi Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah diatas, maka kita dapat melihat adanya dualisme hukum adat di Indonesia. Di Indonesia belakangan dibuatlah suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pertanahan, yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Pertanahan (UUPA 1960). Undang – Undang diciptakan untuk mengadakan unifikasi hukum pertanahan nasional. Sehingga, muncul beberapa pertanyaan, antara lain adalah :
1.   Bagaimana pengaturan hukum tanah adat yang ada di Indonesia sebelum dan sesudah adanya UUPA?
2.   Bagaimana kedudukan hukum tanah adat (atau tanah adapt) dalam hokum nasional?

1.2                      Tujuan Pembuatan Makalah

      Penulisan makalah ini dilakukuan untuk memenuhi tujuan-tujuan yang diharapkan dapat bermanfat.

1.3.1    Tujuan umum
Tujuan umum dibuatnya makalah ini adalah agar para pembaca pada umumnya dan kami khususnya dapat mengetahui bagaimana pengaturan hukum tanah adat di Indonesia sebelum dan sesudah berlakunya UUPA, serta bagaimana juga kedudukan hukum adat dalam hokum nasional.
            1.3.2    Tujuan khusus
Tujuan khusus dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tuntutan perkuliahan mata kuliah Hukum Adat dalam Perkembangan yang sedang kami jalani dalam semester ini.

1.4                  Metode Penyusunan

                        Metode yang digunakan penulis dalam penyusunan makalah ini dengan menggunakan studi pustaka yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan referensi dan buku-buku sebagai landasan teoritis mengenai masalah yang akan diselesaikan dan dengan pencarian data melalui internet.

1.5       Manfaat Pembuatan Makalah

         Manfaat yang penulis harapkan atas tersusunnya makalah ini mudah-mudahan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan penjelasan mengenai bagaimana pengaturan hukum adat di Indonesia, dan bagaimana juga kedudukan hukum adat dalam hukum nasional. Penulis juga berharap agar makalah ini dapat memenuhi tuntutan perkuliahan yang sedang dijalani.
BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1     Hukum Adat Tanah

          Semula hukum adat di Indonesia hanay ditemukan berdasarkan simbol-simbol. Hukm adat mencerminkan kultur tradisional dan aspirasi mayoritas rakyatnya. Hukum ini berakar dalam perekonomian subsitensi serta kebijakan paternalistik, kebijakan yang diarahkan pada pertalian kekeluargaan. Penilaian yang serupa dibuat dari hukum yang diterima di banyak negara terbelakang. Hampir di manapun, hukum ini gagal dalam melangkah dengan cita-cita modernisasi. Sistem tradisional dari kepemilikan tanah mungkin tidak cocok dengan penggunaan tanah yang efisien, karena karakternya yang sudah kuno dari hukum komersial yang memungkinkan menghalangi investasi asing. Bahkan, secara lebih mendasar hukum yang diterima tidak dipersiapkan untuk menyeimbangkan hak-hak pribadi dengan hak masyarakat dalam kasus intervensi ekonomi yang terencana.[2]
            Sementara itu di Indonesia, hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat dimana sendi-sendi dari hukum tersebut berasal dari masyarakat hukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia. Dengan demikian menurut B.F Sihombing, hukum tanah adat adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini serta ada yang tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara autentik atau tertulis, kemudian pula ada yang didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis.[3]
          Bagi masyarakat hukum adat, maka tanah mempunyai fungsi yang sangat penting. Tanah merupakan tempat di mana warga masyarakat hukum adat bertempat tinggal, dan tanah juga memberikan penghidupan baginya. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah, Ter Haar menyatakan sebagai berikut (B Ter Haar Bzn 1950:56).
Masyarakat tersebut mempunyai hak atas tanah itu dan menerapkannya baik ke luar maupun ke dalam. Atas dasar kekuatan berlakunya keluar, maka masyarakat sebagai suatu kesatuan mempunyai hak untuk menikmati  tanah tersebut. Atas dasar kekuatan berlakunya ke dalam masyarakat mengatur bagaimana masing-masing anggota masyarakat melaksanakan haknya, sesuai dengan bagiannya, dengan cara membatasi peruntukan bagi tuntutan-tuntutan dan hak-hak pribadi serta menarik bagian tanah tertentu dari hak menikmatinyasecara pribadi, untuk kepentingan masyarakat.
Masyarakat hukum adat tersebut, sebenarnya dapat ditinjau sebagai suatu totalitas, kesatuan publik maupun badan hukum. Sebagai totalitas, maka masyarakat hokum adapt merupakan penjumlahan dari warga-warganya termasuk pula pemimpinnya atau kepala adatnya.
            Sebagai suatu kesatuan publik, maka masyarakat hukum adat sebenarnya merupakan suatu badan penguasa yang mempunyai hak untuk menertibkan masyarakat serta mengambil tindakan-tindakan tertentu terhadap warga masyarakat. Sebagai badan hukum, maka masyarakat hukum adat diwakili oleh kepala adatnya, dan lebih banyak bergerak di bidang hukum perdata. Dengan demikian, maka sebenarnya hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya, merupakan suatu hubungan publik maupun hubungan perdata, oleh masyarakat hukum adat menguasai dan memiliki tanah tersebut. Penguasaan dan pemilikan atas tanah oleh masyarakat hukum adat oleh Van Vollen Hoven disebut sebagai beschikkingrecht.
            Menurut Ter Haar, bahwa sebagai suatu totalitas, maka masyarakat hukum adat menerapkan hak ulayat dengan cara menikmati atau memungut hasil tanah, hewan ataupun tumbuh-tumbuhan. Sebagai badan penguasa, maka masyarakat hukum adat membatasi kebebasan warga masyarakat untuk memungut hasil-hasil tersebut. Hak ulayat dan hak-hak warga masyarakat secara pribadi, mempunyai hubungan timbale balik yang bertujuan untuk mempertahankan keserasian sesuai dengan kepentingan masyarakat dan warga-warganya (B Ter Haar Bzn 1950: 57).
            Masyarakat hukum adat sebagai suatu totalitas, memiliki tanah dan hak tersebut dinamakan hak ulayat yang oleh Hazairin disebut sebagai hak bersama. Oleh karena itu, maka masyarakat hukum adat menguasai dan memiliki tanah terbatas yang dinamakan lingkungan tanah (wilayah beschikkingskring). Lingkungan tanah tersebut lazimnya berisikan tanah kosong murni, tanah larangan dan lingkungan perusahaan yang terdiri dari tanah di atasnya terdapat pelbagai bentuk usaha sebagai perwujudan hak pribadi atau hak peserta atas tanah.
            Apabila dipandang dari sudut bentuk masyarakat hukum adat, maka lingkungan tanah mungkin dikuasai dan dimiliki oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu atau beberapa masyarakat hukum adat. Oleh karena itu biasanya dibedakan antara:
a.       Lingkungan tanah sendiri, yaitu lingkungan tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh satu masyarakat hukum adat, misalnya, masyarakat hukum adat tunggal (desa di Jawa), atau masyarakat hukum adat atasan (Kuria di Angkola), atau masyarakat hukum adat bawahan (Huta di Penyabungan).
b.      Lingkungan tanah bersama, yaitu suatu lingkungan tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh beberapa masyarakat hukum adat yang setingkat, dengan alternatif-alternatif, sebagai berikut:
1.      Beberapa masyarakat hukum adat tunggal, misalnya beberapa belah di Gayo.
2.      Beberapa masyarakat hukum adat atasan, misalnya luhat di Padanglawas.
3.      Beberapa masyarakat hukum adat bawahan, misalnya huta-huta di Angkola.
Dengan demikian, maka struktur lingkungan tanah pada masyarakat hukum adat tersebut mempunyai variasi, sebagai berikut:
a.       Lingkungan tanah selapis, di mana lingkungan tanah tertentu tidak terbagi lagi ke dalam lingkungan-lingkungan tanah lain. Kemungkinan-kemungkinannya adalah:   
1.      Lingkungan tanah tunggal selapis, yaitu lingkungan tanah yang dikuasai dan dipunyai oleh suatu masyarakat hukum adat tunggal, sebagaimana dijumpai pada desa-desa di Jawa.
2.      Lingkungan tanah bertingkat selapis, yaitu keadaan di mana masyarakat hukum adat atasan mempunyai lingkungan tanah sendiri, sedangkan masyarakat hukum adat bawahannya juga mempunyai lingkungan tanah sendiri dari masyarakat hukum adat atasannya.
3.      Lingkungan tanah setingkat berlapis, di mana beberapa masyarakat hukum adat yang setingkat, bersama-sama menguasai dan memiliki lingkungan tanah yang sama.
b.      Lingkungan tanah berlapis, yakni lingkungan tanah yang terbagi ke dalam lingkungan-lingkungan tanah lainnya, dengan variasi sebagai berikut:
1.      Lingkungan tanah selapis sempurna, di mana baik masyarakat hukum adat atasan maupun bawahan, masing-masing menguasai dan memiliki lingkunga tanah sendiri (misalnya, di Penyabungan).
2.      Lingkungan tanah berlapis tidak sempurna, di mana masyarakat hukum adat atasannya mempunyai lingkungan tanah sendiri, sedangkan masyarakat hukum adat bawahannya ada yang mempunyai tanah sendiri dan ada juga yang tidak (misalnya di Mandailing).
           
2.2     Hukum Agraria Sebelum Adanya UUPA

Ilmu agraria adalah ilmu yang mempelajari semua hal yang berhubungan dengan masalah tanah pada umumnya, misalnya masalah erosi, masalah kesuburan tanah, masalah jenis dan karakteristik tanah, dan masalah yang berkaitan dengan pengaturan masalah tanah.
Hukum agraria adalah bagian dari ilmu agraria. Dalam arti sempit, hukum agraria berarti hukum yang mengatur hubungan manusia dengan tanah pada umumnya. Hukum agraria lama, yaitu hukum agraria sebelum Undang-undang No. 5 tahun 1960 diberlakukan, sebagian merupakan hukum yang “tertulis”, dan sebagian lagi merupakan hukum yang “tidak tertulis”.
Bagian hukum agraria tertulis, kaidah-kaidahnya bersumber pada hukum agraria barat, yang tersebar dalam berbagai perundang-undangan pemerintah kolonial Belanda. Perundang-undangan itu ada yang berlaku untuk seluruh wilayah Hindia Belanda, ada juga yang hanya berlaku untuk daerah tertentu, misalnya hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura saja. Hukum agraria tertulis antara lain seperti yang terdapat dalam Agrarische Wet, stbl. tahun 1870 no. 55, Agrarisch Besluit, stbl. tahun 1870 no. 118 dan perundang-undangan pelaksanaannya, atau yang terdapat dalam kitab undang-undang yang sudah tersusun secara sistematis, terkodifikasi, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek (BW)).
Sedang bagian hukum agraria tidak tertulis, kaidah-kaidahnya bersumber pada hukum adat  bangsa Indonesia. Yaitu hukum yang sudah ada, ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh bangsa Indonesia, jauh sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia (Hindia Belanda).
Dengan demikian hukum agraria lama, yang berlaku di Indonesia sebelum berlakunya UUPA, mempunyai sifat dualistis. Artinya hukum agraria tersebut ada yang bersumber pada hukum barat (tertulis), selain yang bersumber pada hukum adat (tidak tertulis) bangsa Indonesia.
Apabila kita berbicara hukum adat bangsa Indonesia, maka kita harus mengarahkan pandangan kepada seluruh wilayah Indonesia, wilayah Negara Republik Indonesia (Hindia Belanda) terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil. Bangsa Indonesia yang menghuni negara ini terdiri dariberbagai macam suku bangsa, berbagai macam bahasa daerah, berbagai macam agama, mempunyai berbagai macam corak adat istiadat yang berbeda-beda. Hukum adat di suatu daerah tertentu berbeda dengan hukum adat yang berlaku di daerah lain.
Dengan demikian walaupun hukum adat itu  mempunyai sistem dan asas yang sama, yaitu sebagai hukum yang tidak tertulis bagi segenap bangsa Indonesia di seluruh wilayah Indonesia, namun dalam hukum adat itu terdapat pula perbedaan-perbedaan ketentuan hukum menurut daerah atau lingkungan hukum adat masing-masing. Berhubungan dengan itu, maka hukum agraria adat tersebut isinya tidak sama, beraneka ragam untuk tiap daerah.
Oleh karena itulah maka hukum agraria berlaku sebelum keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tidak hanya bersifat dualistis tetapi juga bersifat pluralistis atu beraneka ragam (Boedi Harsono, 1970: 37).
           
2.3                      Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

            Untuk menciptakan hukum agraria nasional guna menjamin kepastian hukum bidang pertahanan, maka dilakukanlah unifikasi hukum pertahanan dengan membentuk UU no. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau yang lebih dikenal dengan UUPA pada tanggal 24 September 1960. Alasan-alasan lahirnya UU No.5 Th 1960 (UUPA), yaitu:
a.       karena hukum agraria yang berlaku sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan (Belanda), hingga bertentangan dengan kpentingan negara;
b.      karena akibat politik-hukum penjajahan, sehingga hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat di samping peraturan-peraturan hukum barat, shg menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa;
c. hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat asli.
            Hukum agraria sebagaimana yang dimaksudkan oleh UUPA, adalah suatu kelompok berbagai hukum, yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumbe-sumber alam. Dalam pengertian yang luas, ruang lingkup hukum agraria meliputi: hukum tanah, hukum air, hukum kehutanan, hukum pertambangan/bahan galian, hukum perikanan dan hukum ruang angkasa (hukum yang mengatur penguasaan unsur-unsur tertentu ruang angkasa).
            Adapun Tujuan dari dibentuknya UUPA terdapat pada Penjelasan Umum UUPA, yaitu:
a.       meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dlm rangka masyarakat yg adil dan makmur;
b.      meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
c.   meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
            Hukum tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan hukum konkrit dengan tanah. Pembatasan serupa dapat kita adakan juga dengan bidang hukum lain yang merupakan unsur-unsur dari  kelompok hukum agraria di atas, seperti hukum air, hukum kehutanan, hukum pertambangan/bahan galian, hukum perikanan dan hukum ruang angkasa.
                       
BAB III
PEMBAHASAN

3.1     Pengaturan Hukum Tanah Adat Sebelum Berlakunya UUPA

Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu persekutuan dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuat dengan kebutuhan mereka dalam memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para anggota persekutuan berlangsung secara tertulis. Selain itu dalam melakukan tindakan untuk menggunakan tanah adat, harus terlebih dahulu diketahui atau meminta izin dari kepala adat.
Dengan demikian sebelum berlakunya UUPA ini tanah adat masih tetap milik anggota persekutuan hukum, yang mempunyai hak untuk mengolahnya tanpa adanya pihak yang melarang.     

3.2            Hukum Tanah Adat Setelah Berlakunya UUPA

Seperti yang telah dijelaskan dalam konsepsi UUPA, menurut konsepsi UUPA maka tanah, sebagaimana halnya juga dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang ada di wilayah republik Indonesia, adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa pada bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi.
Dalam Pasal 5 UUPA ada disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dengan peraturan perundangan-undangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Adanya ketentuan yang demikian ini menimbulkan dua akibat terhadap hukum adat tentang tanah yang berlaku dalam masyarakat Indonesia, dimana di satu pihak ketentuan tersebut memperluas berlakunya hukum adat tidak hanya terhadap golongan Eropa dan Timur Asing. Hukum adat di sini tidak hanya berlaku untuk tanah-tanah Indonesia saja akan tetapi juga berlaku untuk tanah- tanah yang dahulunya termasuk dalam golongan tanah Barat.
Setelah berlakunya ketentuan tersebut di atas, maka kewenangan berupa penguasaan tanah-tanah oleh persekutuan hukum mendapat pembatasan sedemikian rupa dari kewenangan pada masa-masa sebelumnya karena sejak saat tu segala kewenangan mengenai persoalan tanah terpusat pada kekuasaan negara.
Setelah berlakunya UUPA ini, tanah adat di Indonesia mengalami perubahan. Maksudnya segala yang bersangkutan dengan tanah adat, misalnya hak ulayat, tentang jual beli tanah dan sebagainya mengalami perubahan. Jika dulu sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masih milik persekutuan hukum adat setempat yang sudah dikuasai sejak lama dari nenek moyang mereka dahulu. Namun setelah berlakunya UUPA, hak ulayat masih diakui, karena hal ini dapat dilihat dari pasal 3 UUPA, hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat masih diakui sepanjang dalam kenyataan di masyarakat masih ada. Hak ulayat yang diakui dalam pasal tersebut bukanlah hak ulayat seperti
dengan masa sebelumnya dengan kepentingan Nasional dan negara perbatasan dengan bahwa hak ulayat yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan Peraturan-peraturan lainya.
Selain itu ada juga perubahan yang terjadi pada hukum tanah adat sebelum dan sesudah berlakunya UUPA. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam hal ini jual beli tanah. Sebelum berlakunya UUPA, jual beli tanah sering dilakukan hanya secara lisan saja, yakni penjualnya. Itu sebabnya sampai dikatakan dulu tanpa bentuk. Kemudian berkembang dengan pembuatan surat jual beli antara dua pihak. Jual beli tanah adalah perbuatan hukum menyerahkan tanah hak oleh penjual kepada pembeli. Perubahan lain yang terjadi misalnya dalam hal daluarsa. Dalam hukum adat daluarsa ini menyangkut tentang hak milik atas tanah. Dulu, sesuatu bidang tanah yang sudah dibuka atas izin pemangku adat atua kepala adat yang berwenang, maka setelah beberapa tahun tidak dikerjakan/ditanami kembali ditutul belukar dapat diberi peruntukan lain/baru kepada pihak yang membentuknya, akibat pengaruh lamanya waktu dan tanah itu telah kembali kepada hak ulayat desa.
Dalam perjalan waktu, apabila izin membuka tanah dan tanahnya dimaksud digunakan terus, maka pemegang hak itu tidak memerlukan izin lagi untuk menggunakan tanah secara terus menerus makin lama seorang memanfaatkan hak/izin itu, bertambah kuat hak melekat di atasnya, sampai pada akhirnya menjadi hak milik.
Hak milik juga mengalami perubahan, sebelum berlakunya UUPA, lazimnya didaftarkan dan dikenakan pajak hasil bumi. Walaupun peraturan perpajakan ini tidak menentukan hak atas suatu bidang tanah, tetapi sejarah penggunaan dan pemilikan penguasa tanah secara tidak langsung dipotong dokumentasi/administrasi perpajakan serta pembayaran pajak tersebut. Sejak berlakunya UUPA, keadaannya menjadi lain, akibat adanya ketentuan konversi dan politik hukum agraria yang merubah stelsel lama.

3.3            Kedudukan Hukum Tanah Adat dalam Hukum Agraria Nasional

Dalam banyak peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif, aplikatif dan come into force ketika dihadapkan dengan masyarakat modern dewasa ini. Sehingga dalam hukum agraria nasional hukum adat dijadikan juga sebagai landasannya.
Hukum agraria pada masa penjajahan Hindia Belanda bersifat dualistis, yaitu hukum agraria barat, dan hukum adat bangsa Indonesia. Hukum agraria barat berlaku bagi orang-orang Belanda, orang eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, sedang hukum agraria adat berlaku bagi golongan bumi putera (penduduk asli).
Undang-undang no. 5 tahun 1960 adalah undang-undang yang dibuat bangsa Indonesia an dikeluarkan setelah Indonesia merdeka. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa hukum agraria nasional didasarkan kepada hukum adat. Penegasan itu dapat dijumpai dalam:
1.      Konsideran berpendapat, huruf a;
2.      Penjelasan umum angka III (1);
3.      Penjelasan pasal 16;
4.      Pasal 56.
Asas-asas hukum adat yang digunakan dalam hukum agraria nasional, adalah: asas religuisitas (pasal 1), asas kebangsaan (pasal 1, 2, dan 9), asas demokrasi (pasal 9), asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial  (pasal 6, 7, 10, 11, dan 13), asas penggunaan dan pemeliharaan tanah secara berencana (pasal 14 dan 15), serta asas pemisahan horizontal tanah dengan bangunan yang ada di atasnya (Boedi Harsono, 1999: 203)
            Ketentuan hukum adat itu tidak tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Contoh ini disebutkan dalam penjelasan umum angka II. 3 dalam hubungan dengan pelaksanaan hak ulayat. Sekalipun penguasa-penguasa adat mempunyai kewenangan untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah hak ulayat dalam wilayahnya, namun kewenangan itu tidak boleh menghalangi program pemerintah untuk mencapai kemakmuran rakyat, umpama pembukaan tanah secara besar-besaran untuk areal perkebunan atau untuk pemindahan penduduk.
Hukum agraria nasional itu, berdasarkan atas hukum adat tanah, yang bersifat nasional, bukan hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional. Artinya, untuk menciptakan hukum agraria nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh penjuru nusantara, dicarikan format atau bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tentu saja, tujuannya adalah untuk meminimalisir konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat.
Berpatokan pada hukum adat sebagai sumber utama dalam mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pembangunan hukum tanah nasional, maka tetap dimungkinkan untuk mengadopsi lembaga-lembaga baru yang belum dikenal dalam hukum adat. Di samping itu, dapat pula mengambil lembaga-lembaga hukum asing guna memperkaya dan memperkembangkan hukum tanah nasional. Namun demikian, dalam mengadopsi lembaga-lembaga baru tersebut syaratnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. adapun lembaga-lembaga baru tersebut adalah:
1.      Pendaftaran Tanah;
2.      Hak Tanggungan;
3.      Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pengelolaan.[4]
Hukum agraria nasional tidak hanya tercantum dalam UUPA 1960 saja, tetapi juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang perjanjianperjanjian ataupun transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah. Misalnya, Undang-undang no. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian , Undang-undang no. 2 tahun 1960 tentang Penetapan Ceiling Tanah dan Gadai tanah pertanian. Di sini dapat dilihat bahwa semua masalah hukum tanah adat secara praktis di akomodasi oleh peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah (penguasa).
BAB IV
PENUTUP

4.1     Kesimpulan
         
Dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang berlaku di Indonesia menunjukkan adanya suatu nuansa kehidupan atau fungsi sosial dari tanah, terlebih agi dalam pembagian tanah persekutuan dan tanah perseorangan atau individu. Juga dapat dilihat bagaimana pembagian hak-hak atau pengaturan hak-hak atas tanah adat menunjukkan adanya upaya untuk menertibkan pemakaian tanah adat sehingga benar-benar menjamin keadilan. Namun, kepastian hukum tidak terjamin dengan hanya mengandalkan hukum tanah adat belaka. Di sinilah kedudukan peran pemerintah selaku penguasa untuk menetapkan suatu teknis pendaftaran tanah adat untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam bidang agraria.
Hukum tanah adat di Indonesia telah mengalami perkembangan dalam berbagai hal, karena ini disesuaikan dengan adanya perkembangan zaman tidak tertulis, tepat keberadaannya masih tetap dipandang kuat oleh para masyarakat. Begitu juga kiranya dengan tanah adat yang sudah merupakan bagian dari diri mereka dan tetap dipertahankan kelestariannya jika ada pihak-pihak yang ingin merusaknya. Memang, setelah perkembangan zaman ditambah lagi setelah berlakunya UUPA, hukum tanah adat masih tetap diakui sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara.
Penjelasan UUPA Paragraf III, menegaskan bahwa hukum adat yang dimaksud dalam UUPA adalha “hukum adat yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia” Sehingga hukum adat yang menjadi sumber utama hukum agraria nasional adalah Prinsip-prinsip dan konstruksi-konstruksi hukum adat yang ada di Indonesia yg dipergunakan.
Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar. Hukum tanah adat yang dibahas dalam pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa dengan adanya tanah persekutuan dan tanah perseorangan menunjukkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang serupa diatur dalam UUPA. 1960.

4.2            Saran dan Rekomendasi

Kini walaupun UUPA sudah berlaku namun masih banyak masyarakat yang tetap berpedoman pada hukum adat tanah, yang sangat disayangkan disini hukum adat tanah tidak dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Maka adapun usaha yang dapat dilakukan pemerintah antara lain:
a.  Adanya jaminan kepastian hukum bagi pemilik tanah ulayat sebagaimana dimaksudkan di dalam Undang- Undang Pokok Agraria;
b.   Meningkatkan ketertiban dalam bidang keagrarian;
c.   Perlu lebih ditingkatkan penyuluhan dan sosialisasi serta informasi kepada masyarakat luas akan pentingnya hak-hak atas tanah serta pendaftarannya;
d.   Harus diupayakan untuk menghilangkan birokrasi yang berbelit-belit dan ditekan sekecil mungkin segala ”biaya-biaya siluman” yang berhubungan dengan masalah tanah;
e.   Lembaga-lembaga pengkajian dan penelitian masalah hukum adat dan badan pemantau urusan pertanahan perlu diperbanyak keberadaannya.
Semua hal tersebut diatas dalam menyusun kebijaksanaan politis dan hukum bidang agraria, menuntut tetap diperhatikannya hukum tanah adat yang berlaku secara nasional.
Penulis berharap agar makalah kami ini dapat dijadikan sebagai sebuah pedoman bagi para pembaca pada umumnya dan para mahasiswa pada khususnya. Penulis juga berharap agar makalah ini dapat memenuhi tuntutan perkuliahan mata kuliah hukum islam yang sedang dijalani.
Penulis mohon maaf apabila ada kekurangan dan hanya kepada ALLAH SWT lah kita kembali pada-Nya. 
DAFTAR PUSTAKA

Azam, Syaiful. 2003. Fakultas Hukum. Eksistensi Hukum Tanah dalam Mewujudkan Tertib Hukum Agraria. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Harsono, Boedi. 1994. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional. Jakarta: Djambatan.
Ridwan, Ahmad Fauzie. 1982. Hukum Tanah Adat – Multi Disiplin Pembudayaan Pancasila. Jakarta: Dewaruci Press.
Sihombing, B. F. 2004. Evolusi Kebijakan Pertahanan dalam Hukum Tanah Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Soekanto, Soerjono. 1981. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Supriadi, 2008. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar grafika.
Usman, Suparman. 2003. Hukum Agraria di Indonesia. Serang: Fakultas Hukum UNTIRTA


[1] Prof.Dr.Ahmad Fauzie Ridwan, SH, Hukum Tanah Adat – Multi disiplin Pembudayaan Pancasila,
Dewaruci Press, Jakarta, 1982, hlm. 12.
[2] C. Van Vollenhoven, Penemuan Hukum Adat, dalam B.F Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertahanan dalam Hukum Tanah Indonesia, Gunung Agung Jakarta, 2004, hlm. 66.
[3] L. Michael Hager, The Rule of Law in Developing Countries, dalam B. F Sihombing, Ibid., hlm. 67.
[4] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1994, hlm. 171.